BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia
pendidikan, lennih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan paradigma yang
tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif.
Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan
teoretik dan konseptual yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran selama
ini hanya mengagungkan pada pembentukan perilaku keseragaman, dengan harapan
akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian (Degeng,
1997).
Banyak
penelitian telah dilakukan orang tentang belajar dan para ahli membuat
hasil-hasil penelitian mereka menjadi sistematis, lalu lahirlah teori belajar.
Teori belajar dikelompokkan menjadi teori sebelum abad ke-20 serta teori
belajar selama dan sesudah abad ke-20. Pengelompokan ini dilakukan karena
sebelum abad ke-20, teori belajar dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis,
tanpa dilandasi eksperimen, sedangkan teori belajar abad ke-20 dikembangkan
secara ilmiah. Teori abad ke-20 dibagi menjadi dua keluarga, yaitu keluarga
teori perilaku (Behaviorisme) dan keluarga teori kognitif (Kognitivisme). Pada makalah ini akan dibahas
tentang teori perilaku (Behaviorisme) serta tokoh-tokohnya yaitu Skinner dan
Albert Bandura.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu teori
belajar aliran Behaviorisme?
2. Bagaimana teori
belajar aliran Behaviorisme menurut Skinner?
3. Bagaimana teori
belajar aliran Behaviorisme menurut Albert Bandura?
4. Bagaimana
penerapan teori belajar aliran Behaviorisme?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui teori belajar aliran Behaviorisme.
2. Untuk
mengetahui teori belajar aliran Behaviorisme menurut Skinner.
3. Untuk
mengetahui teori belajar aliran Behaviorisme menurut Albert Bandura.
4. Untuk
mengetahui penerapan teori belajar aliran Behaviorisme.
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Teori Belajar Aliran Behaviorisme
(Suyono dan Hariyanto, 2014: 58)
Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan,
bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat
dimaklumi karena behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang
melibatkan binatang seperti burung merpati, kucing, tikus dan anjing sebagai
objek. Peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para ahli
behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus (S) dengan respon (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang penting
adalah adanya input berupa stimulus
dan output yang berupa respon.
Para ahli yang mengembangkan teori
ini antara lain E.L. Thorndike, Ivan Pavlov, B.F. Skinner, J.B. Watson, Clark
Hull dan Edwin Guthrie. Ada beberapa istilah/jargon yang harus dipahami
terlebih dahulu untuk lebih memahami makna “hukum belajar” yang dihasilkan dari
sejumlah penelitian dari para ahli itu. Konsep dasarnya seperti yang
dikembangkan oleh Thorndike dan Watson, seorang behavioris murni, belajar
adalah proses interaksi antara stimulus atau rangsangan yang berupa serangkaian
kegiatan yang bertujuan agar mendapatkan respon belajar dari objek penelitian.
Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang dapat
berupa pikiran, perasaan, atau tindakan. Syarat pokoknya, stimulus maupun
respon harus benar-benar dapat diamati dan diukur. Jadi walaupun diakui adanya
perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, tetapi faktor
tersebut dianggap tidak relevan karena tidak dapat diamati.
Objek penelitian umumnya berupa
binatang, selanjutnya respon oleh binatang ini diasumsikan juga akan terjadi
pada manusia dalam kondisi pembelajaran yang analog. Kecuali itu juga dikenal
istilah operant, yaitu sejumlah
perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan, operant dimaknai sebagai bagaimana perilaku beroperasi atau
bermanifestasi dalam lingkungan tertentu. Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh penguatan (reinforcement). Reinforcement
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respon tertentu, tetapi tidak secara sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus seperti dalam classical
conditioning. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, sebaliknya
jikan penguatan dikurangi (negative
reinforcement), misalnya karena adanya hukuman (punishment) maka respon akan semakin lemah. Dalam konteks ini
penguat (reinforcer) dan penghukum (punisher) didefinisikan bergantung
kepada efeknya terhadap perilaku. Contohnya, aktivitas punisher tidak dianggap sebagai hukuman jika tindakan itu ternyata
tidak mengubah perilaku normal pembelajar.
B. Prinsip-prinsip
Teori Belajar Aliran Behaviorisme
Beberapa prinsip yang melandasi teori belajar aliran behaviorisme
diuraikan sebagai berikut:
1. Konsekuensi
Prinsip yang paling penting pada teori
behaviorisme ialah perilaku berubah menurut konsekuensi langsung.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku, sedangkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan” perilaku.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser atau
penguat, sedangkan konsekuensikonsekuensi yang tidak menyenangkan disebut
hukuman.
a. Reinforser atau
penguat
Reinforser
atau penguat dapat dibagi menjadi dua golongan: primer dan sekunder. Reinforser
primer merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan
dengan reinforser primer atau sekunder lainnya yang sudah mantap. Misalnya
angka-angka dalam rapor baru mempunyai nilai bagi siswa bila orang tuanya
memberikan perhatian dan penilaian, dan pujian orang tua mempunyai nilai sebab
pujian itu terasosiasi dengan kasih sayang, kemesraan, dan reinforser lainnya.
Angka rapor merupakan contoh-contoh reinforser sebab angka rapor tidak
mempunyai nilai sendiri, melainkan baru mempunyai nilai setelah diasosiasikan
dengan reinforser primer atau reinforser sekubder lainnya yang lebih mantap.
Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu reinforser sosial (seperti
pujian senyuman, atau perhatian), reinforser aktivitas (seperti pemberian
mainan, permainan, atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan), dan reinforser
simbolik (seperti uang, angka, bintang, atau poin yang dapat ditukarkan untuk
reinforser lainnya).
Reinforser
berupa pujian angka dan bintang disebut reinforser positif. Akan tetapi, ada
kalanya untuk memperkuat perilaku dibuatlah konsekuensi perilaku suatu
peelarian dari situasi yang tidak menyenangkan. Reinforser yang berupa pelarian
dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan disebut reinforser negatif. Suatu
prinsip perilaku penting ialah kegiatan yang kurang diingini dapat ditingkatkan
dengan menggabungkannya pada kegiatan-kegiatan yang lebih disenangi atau
diinginkan. Sebagai contoh misalnya, seorang guru berkata pada muridnya: “Jika
kamu telah selesai mengerjakan soal ini, kamu boleh keluar” atau “Bersihkan
dahulu mejamu, nanti ibu bacakan cerita”. Kedua contoh ini merupakan
contoh-contoh suatu prinsip yang dikenal dengan nama Prinsip Premack.
b. Hukuman
Konsekuensi-konsekuensi
yang tidak memperkuat perilaku disebut hukuman. Perlu diperhatikan hukuman
berbeda dengan reinforser negative yang bertujuan mengurangi perilaku dengn
menghadapkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan.
Para
teoretikus behaviorisme berbeda pendapat mengenai hukuman, ada yang berpendapat
bahwa efek hukuman itu hanya bersifat temporer, yaitu hukuman menimbulkan sifat
menentang atau agresi. Ada pula teoretikus yang tdak setuju dengan pemberian
hukuman. Akan tetapi, termasuk mereka yang mendukung penggunaan hukuman ini,
pada umumnya setuju bahwa hukuman itu hendaknya digunakan bila reinforcement
telah dicoba dan gagal , dan hukuman diberikan dalam bentuk selunak mungkin,
serta hukuman hendaknya selalu digunakan bagian dari suatu perencanaan yang
teliti, tidak dilakukan karena frustasi.
2. Kesegeraan (Immediacy) Konsekuensi
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini
penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian
yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik,
dapat menjadi suatu reinforser yang lebih kuat daripada angka yang diberikan
kemudian.
3. Pembentukan (Shapping)
Selain kesegeraan reinforcement, hal yang akan diberikan reinforcement, juga perlu diperhatikan
dalam mengajar. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan
memberikan reinforcement pada
langkah-langkah yang menuju keberhasilan, guru itu menggunakan teknik yang
disebut pembentukan. Istilah pembentukan atau shaping digunakan dalam teori belajar behaviorsime saat mengajarkan
keterampilan baru atau perilaku dengan memberikan reinforcement pada para siswa dalam mendekati perilaku akhir yang
diinginkan.
Ringkasan langkah-langkah dalam
pembentukan perilaku baru adalah:
1. Pilihlah
tujuan, buat tujuan itu sekhusus mungkin.
2. Tentukan sampai
di mana siswa-siswa itu sekarang. Apakah kemampuan mereka?
3. Kembangkan satu
seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari
keadaan mereka sekarang ke tujuan yang telah ditetapkan. Bagi sebagian siswa
langkah- langkah itu mungkin terlalu besar, untuk sebagian lagi mungkin terlalu
kecil. Ubahlah langkah langkah itu sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa.
4. Berilah umpan
balik selama pelajaran berlangsung. Perlu diingat, makin baru materi pelajaran,
makin banyak umpan balik dibutuhkan para siswa.
Ada sebuah
kritik yang disampaikan oleh para ahli kependidikan sehubungan dengan kelemahan yang
terlekat dalam teori behaviorisme. Diantara kritik-kritik itu sebagai berikut:
1)
Behaviorisme
tidak mengadaptasi berbagai macam jenis pembelajaran, karena mengabaikan
aktivitas pikiran.
2)
Behaviorisme
tidak mampu menjelaskan beberapa jenis pembelajaran, misalnya pengenalan
terhadap pola-pola bahasa baru oleh anak-anak kecil, karena disini tidak ada
mekanisme penguatan.
3)
Riset
menunjukkan bahwa binatang mampu mengadaptasikan pola pengatan mereka terhadap
informasi baru.
4)
Seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, karena banya variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan / atau belajar yang berperan
terhadap perilaku siswa, tetapi pengarus atau peranannya tidak sekedar hubungan
stimulus-repon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan
yang terjado dalam hubungan S-R.
5)
Pandangan
behaviorisme juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
siswa,walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
6)
Pandangan
behaviorisme tidak memperhatikan pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang dapat diamati sebagai akibat hubungan S-R.
7)
Pandangan behaviorisme
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan
tidak produktif.
8) Bagi pendidik yang berpandangan agama
sebagai landasan pendidikan anak manusia, behaviorisme dianggap bukan landasan
pendidikan yang ideal, sebab menurut mereka aliran behaviorisme berciri pokok:
a) Bersifat naturalistik yang menganggap
dunia materi merupaka realitas yang sesungguhnya, segala sesuatunya dapat
diterangkan melalui hukum-hukum alam, manusia tidak memiliki jiwa dan juga
pikiran, yang ada hanyalah otak yang melakukan respon terhadap stimulus
eksternal.
b) Behaviorisme mengajarkan bahwa
manusia tidak lebih seperti mesin yang melakukan respon terhadap kondisi
rangsangan tertentu. Pandangan pokok behaviorisme adalah bahwa pemikiran,
perasaan, minat, dan seluruh proses, mental tidak menentukan apa yang kita
lakukan. Perilaku kita semata-mata produk dari suatukondisioning, suatu
rangsangan. Kita hanya mesin biologis yang tidak menyadari apa yang kita
lakukan, kiata hanya bereaksi terhadap stimulus. Skiner menegaskan bahwa
atribut manusia sebagai makhuk spiritual tidak pernah ada.
c) Secara konsisten behaviorisme
berpandangan bahwa kita tidak peru bertangggung jawab terhadap apa yang kita
perbuat, karena kita hanya mesin yang melakukan pikiran dan jiwa, kita bereaksi
dilingkungan kita untuk mencapai tujuan tertentu. Sosiobiologi, sejenis behaviorisme,
membandingkan manusia dengan komputer, jika sampah yang masuk, maka sampah pula
yang keluar (Garbage in, garbage out).
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang
belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut
Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya
bahwa respon yang diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu.
Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang
dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah
laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara
stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan
dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut
oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori
Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan oleh Skinner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering
kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang tidak
dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang
siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi
setalah diberi stimulus lagi akan sama bahkan lebih baik, ternyata siswa
tersebut tidak mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori
behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan
antara stimulus dan respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti
stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang
diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa teori
behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Sebagai contoh, memotivasi sangat berpengaruh dalam
proses belajar. Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa
termotivasi pada kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih
atletik), tetapi tidak termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa
tersebut mendapatkan pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di
luar pelajaran, tetapi tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di
kelas.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang
dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relative sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak
kreatif dan tidak produktif.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup
ini yang mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana
yang dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun
apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas
berfikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie
hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Ø Pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara
Ø Dampak psikologi yang buruk mungkin
akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama.
Ø Hukuman mendorong si terhukum mencari
cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata
lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadanglah
lebih buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif
(sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi kuat.
Misalnya, seorang siswaperlu dihukun karena melakukan kesalahan. Jika siswa
tersebut masih saja melakuan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari
penguat negatif adalah penguat positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya
adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penguat negatif adalah
dikurangi agar memperkuat respons.
D. Teori Behaviorisme Menurut Albert Bandura
Menurut A. Bandura, belajar itu lebih dari
sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial).
Lewat dari
teori observational learning, Bandura beranggapan bahwa masalah proses psikologi terlalu dianggap
penting, atau sebaliknya hanya ditelaah sebagian saja. Menurut Bandura, yang
penting ialah kemampuan seseorang untuk mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain.
Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha
menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak
memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya. Teori Bandura ini juga masih memandang pentingnya conditoning.
Melalui pemberian reward
dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilaksanakan. Bandura menyatakan: ”manusia
adalah organisme yang mempunyai kemampuan berfikir, ia dapat mengarahkann diri,
dapat menghayati keadaan orang lain, dapat menggunakan simbol-simbol dan dapat
mengatur dirinya sendiri”. Ini merupakan pandangan baru dalam aliran
behaviorisme yang semula sangat mekanistis dan hanya mengakui kekuatan
linngkungan. (Sukmadinata, 2004 : 157).
Melalui
pembelajaran observational
yang disebut modeling
atau menirukan perilaku manusia model, Bandura mengembangkan teori pembelajaran
sosial. Perilaku siswa pengamat dapat dipengaruhi oleh perilaku model
dalam bentuk akibat-akibat positif (vicarious
reinforcement, penguatan yang seolah-olah dialaminya sendiri) maupun dalam bentuk akibat-akibat negatif (vicarious
punishment).
Proses modeling terjadi dengan beberapa tahapan sebagai
berikut:
1)
Atensi
(perhatian), jika ingin mempelajari sesuatu
harus memperhatikannya
dengan seksama, berkonsentrasi, jangan banyak hal yang mengganggu pikiran.
2)
Retensi
(ingatan), kita harus mampu mempertahankan, mengingat apa yang telah
diperhatikan dengan seksama tadi.
3)
Produksi,
kita hanya perlu duduk dan berkhayal
untuk menerjemahkan citraan atau deskripsi model kedalam perilaku aktual. Aspek
paling penting disini adalah kemampuan kita merimprovisasi ketika kita
membanyangkan diri kita sebagai model.
4)
Motivasi,
adanya dorongan atau alasan-alasan tertentu untuk berbuat meniru model. Ada
tiga hal yang merupakan motivasi, yaitu (i) doronngan masa lalu, (ii) dorongan
yang dijanjikan (insentif) yang dapat kita bayangkan, dan (iii)
dorongan-dorongan yang kentara (tangible), seperti melihat atau
mengingat model-model yang patut ditiru.
Berikut ini merupakan jumlah prinsip-prinsip
panduan (guiding principles) yang melatar belakangi pembelajaran sosial
atau pembelajaran observational.
1)
Pengamatan
akan mencontoh perilaku model jika model memiliki karakteristik seperti
talenta, kecerdasan, kekuatan, penampilan yang baik, atau popularitas, yang
diiginkan atau menarik perhatian siswa pengamat.
2)
Pengamat
akan bereaksi sesuai dengan cara model diperilakukan dan menirukanperilaku
model.
3)
Ada
perbedaan dari perilaku yang didapat pengamat denga perilaku yang dilakukan
pengamat. Melalui observasi, pengamat dapat menerima perilaku tanpa harus
melakukannya.
4)
Atensi
dan pengingatan berkaitan dengan penerimaan pembelajaran dari perilaku model,
sedangkan produksi dan motivasi akan
mengontrol kinerja.
Perkembangan manusia merefleksikan interaksi kompleks antar
pribadi, perilaku seseorang dan lingkungannya. Hubungan antar unsur-unsur ini
disebut determinisme resiprokal, penentuan timbal-balik (reciprocal
determinism). Kecakapan kognitif seseorang, karakteristik fisik,
kepribadian, kepercayaan, dan sikap berpengaruh terhadap perilaku dan
linngkungannya.
Kritik
Bandura terhadap belajar itu sebagai
hubungan antara stimulus dan respon adalah (1) kurang menjelaskan tentang
diperolehnya respon yang baru. Dalam situasi alami, menurut bandura orang akan
berbuat lebih banyak daripada sekedar meniru perilaku yang telah ada, dan (2)
hanya mengamati direct learning (belajar langsung), yaitu orang
berperilaku sesuatu dan mengalami akibatnya (konsekuensi). Sebaliknya, Bandura
mengatakan bahwa seorang anak dalam hubungan pribadinya dengan orang dewasa,
melalui interaaksi anak dengan orang tuanya, dengan perasaan irinya dan
sebagainya menyebabkan anak meniru perilaku tertentu. Diperoleh perilaku yang komplek bukan hanya
disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi dan lingkungan, melainkan
hubungan tiga arah antara perilaku-lingkungan-peristiwa batiniah (reciprocal
determinism / determinasitimbal balik). Contoh : menimbulkan reaksi baru,
yang ada akhirnya reaksi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian
menimbulkan perilaku berikutnya dan dalam melukiskan perilaku yang baru itu,
meskipun dia tidak melakukannya.
Peran
utama model perilaku dari luar dirinya, memberikan berbagai kemungkinan pada
dirinya, yaitu (1) perilaku itu dicontohkan / ditiru, (2) perilaku itu
memperkuat atau memperlemah, dan (3) perilaku itu menyebabkan pindak keperilaku
yang sama sekali baru. Urutan langkah dalam observasi pembelajaran adalah model
perilaku ; model diperhatikan; perilaku dikodekan dan disimpan (coding and
memorizing); diperoleh kode simbolis; motivasi berperilaku; kemmpuan
berperilaku; dan perilaku.
Adapun
analisis teori belajar aliran psikologi behavioristik sebagai teori belajar
dari psikologi behavioristik sebagaimana telah dijelaskan d iatas secara garis besar dikelompokkan menjadi
dua, yaitu teori conditioning dan
teori connectionism. Teori conditioning dibedakan lagi menjadi
empat, yaitu (1) classical conditioning, (2) conditioning, (3)operant
conditioning, dan (4) sistematic behavior. Dan semua penemu teori
tersebut membahas tentang teori belajar, melalui eksperimen yang berbeda
sehingga menghasilkan cara belajar. Teori belajar tersebut ada yang mirip atau
meneruskan teori yang ada pada umumnya ke arah
perilaku belajar.
E.
Aplikasi Teori Behaviorisme dalam Kegiatan
Pembelajaran
Teori behaviorisme
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
belajar dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibemtuk
karena kondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang
bila dikenai hukuman.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman
Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan
Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill
(pembiasaan) disertai dengan reinforcement
atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan
pembelajaran bergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran
yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behaviorisme memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah meemindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau
siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami siswa.
Karena
teori behaviorisme memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata
telah terstruktur rapi an teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran
lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, keaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didika
adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol
belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behaviorisme ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis ata tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan
yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut.
Secara
umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behaviorisme yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya
Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah
tersebut meliputi:
1. Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Menganalisis
lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
3. Menentukan
materi pelajaran.
4. Memecah materi
pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok-pokok bahasan, sub pokok
bahasan, topik, dsb.
5. Menyajikan
materi pelajaran.
6. Memberikan
stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, teks/kuis,
latihan, atau tugas-tugas.
7. Mengamati dan
mengkaji respons yang diberikan siswa.
8. Memberikan
penguatan (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif) ataupun
hukuman.
9. Memberikan
stimulus baru.
10. Mengamati dan
mengkaji respons yang diberikan siswa.
11. Memberikan
penguatan lanjutan atau hukuman.
12. Demikian
seterusnya.
13. Evaluasi hasil
belajar.
BAB
3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
(Suyono dan Hariyanto, 2014: 58) Behaviorisme
merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat
dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi karena
behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang
seperti burung merpati, kucing, tikus dan anjing sebagai objek. Peristiwa
belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan
perubahan tingkah laku. Sebab,
pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling
berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi
bentuk respon yang akan diberikan. Untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu
terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta
memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Menurut A. Bandura, Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Lewat dari
teori observational learning, Bandura beranggapan bahwa masalah proses psikologi terlalu dianggap
penting, atau sebaliknya hanya ditelaah sebagian saja. Teori Bandura ini juga masih memandang pentingnya conditoning.
Melalui pemberian reward
dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilaksanakan.
Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan
pembelajaran bergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran
yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behaviorisme memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah meemindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau
siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami siswa.
B. Saran
Teori
behaviorisme menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori ini memandang bahwa Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pebelajaran adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Oleh karena itu menurut tim penulis teori belajar
behaviorisme ini kurang efektif digunakan saat pembelajaran. Sebaiknya teori
ini digunakan pada keadaan tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiningsih, Asri C.,
2012. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dahar, Ratna Wilis.,
2011. Teori-teori Belajar dan
Pembelajaran. Bandung: Penerbit Erlangga.
Degeng N.S., 1997. Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik:
Pemecahan Masalah Belajr Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Suyono dan Hariyanto.
2014. Belajar dan Pembelajaran.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar