BAB
2
PEMBAHASAN
A. Pentingnya
Etika Profesi
Menurut Saondi dan Suherman
(2012:89) Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau
adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki
oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang
telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Dalam pengertiannya yang secara
khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan
dalam bentuk aturan (code) tertulis
yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk
menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari
kode etik.
Menurut Wignjosoebroto dalam
Saondi dan Suherman (2012:90) Dengan demikian, etika adalah refleksi dari apa
yang disebut dengan self control,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional
merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui
proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang
dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat
dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat sesama profesi sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat built-in mechanism berupa
kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat
serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala
bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian.
Oleh karena itu, dapatlah
disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari
masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran
kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa
keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa
yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh
terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang
sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung ujungnya akan
berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas
diberikan kepada para elite profesional ini.
B.
Pengertian Etika
Menurut Saondi dan Suherman
(2012:90-91) Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antarasesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal bahasa dari kata Yunani ethos yang berarti norma-norma,
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik.
Etika dalam perkembangannya
sangat memengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana
ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. itu berarti etika
membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam
menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil
keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita
pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi
kehidupan kita. Dengan demikian, etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian
sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Ada dua macam etika yang harus
kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia:
a.
Etika deskriftif
Etika yang berusaha meneropong
secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh
manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau
sikap yang mau diambil
b.
Etika normatif
Etika yang berusaha menetapkan
berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian
sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.
Secara
umum, etika dapat dibagi menjadi:
a.
Etika Umum
Mencakup kondisi-kondisi dasar
bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika
dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika Umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai
pengertian Umum dan teori-teori.
b.
Etika Khusus
Etika khusus merupakan penerapan
prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini
bisa berwujud: Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang
kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori
dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud:
Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan
kehidupan khusus yang dilatarbelakangi kondisi yang memungkinkan manusia
bertindak etis: cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan
dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Etika ini dibagi lagi
menjadi dua bagian:
a)
Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan
sikap manusia terhadap dirinya sendiri
b)
Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban,
sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu
diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan
sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan
manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan
(keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia
dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan
hidup.
Dengan
demikian, ruang lingkup dari etika sosial sangat luas sehingga terbagi atau
terpecah menjadi beberapa bagian atau bidang. Pembahasan bidang yang paling
aktual adalah sebagai berikut:
a.
Sikap terhadap sesama
b.
Etika keluarga
c.
Etika profesi
d.
Etika politik
e.
Etika lingkungan
f.
Etika ideologi.
Sistem penilaian Etika yaitu:
·
Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu,
adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila
·
Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi
sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi
pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk
perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu Budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah
dari dalam jiwa; dari berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir
keluar berupa perbuatan nyata.
Dari
sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa etika profesi merupakan bidang
etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati
atau niat biasa juga disebut Karsa atau kehendak kemauan. Isi bahasa dari Karsa
inilah yang akan direalisasikan oleh perbualan dalam hal merealisasikan ini ada
4 (empat) variabel yang lerjadi
a. tujuan baik,
tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik
b.
tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya;
kelihatannya baik
c.
tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga
tidak baik
d.
tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat
baik.
C. Pengertian Profesi
Menurut Saondi dan Suherman
(2012:93) Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang, yaitu suatu hal
yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan
keahlian sehingga banyak orang yang bekerja sesuai bidang dan keahliannya. Tetapi
dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidika kejuruan, juga belum cukup
disebut profesi. Perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktik
pelaksanaan dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktik.
Menurut Saondi dan Suherman (2012:94) Profesional
adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari
pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktikkan suatu keahlian
tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut
keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekadar hobi,
untuk senang-senang, atau mengisi waktu luang. Yang harus kita ingat dan pahami
betul bahwa “pekerjaaan/profesi" dan "professional” terdapat beberapa
perbedaan:
Profesi
|
Profesional
|
Mengandalkan
suatu keterampilan atau keahlian khusus
|
Orang yang tahu akan keahlian dan
keterampilannya
|
Dilaksanakan
sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu)
|
Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan
atau kegiatannya
|
Dilaksanakan
sebagai sumber utama nafkah hidup
|
Hidup dari situ
|
Dilaksanakan
dengan keterlibatan pribadi yang mendalam
|
Bangga akan pekerjaannya
|
a. Ciri-ciri profesi
a)
Adanya pengetahuan khusus, biasanya keahlian dan
keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman
bertahun-tahun
b)
Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi.
Hal ini biasanya pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi
c)
Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya
setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
d)
Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi.
Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana
nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, dan kelangsungan hidup
maka untuk menjalankan suatu profesi terlebih dahulu harus ada izin khusus.
e)
Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu
profesi
Dengan melihat ciri-ciri umum
profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah
orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di
satu pihak, ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak
ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan
masyarakat seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan
suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu
kualitas masyarakat yang semakin baik.
b. Prinsip-prinsip
etika profesi
a) Tanggung
jawab
Terdapat dua tanggung jawab yang
diemban yakni: terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut dan terhadap hasilnya
terhadap dampak dari profesi tersebut untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
b)
Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk
memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya.
c)
Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap
kaum profesional dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya.
c.
Peranan etika dalam profesi
a)
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau
dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat,
bahkan kelompok yang paling kecil, yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.
Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata
nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
b)
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan, baik dengan kelompok atau
masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat
profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata
nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan
diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
c)
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala
perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada
nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik
profesi) sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut.
Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan,
demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik Super spesialis di
daerah mewah sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
D. Syarat-syarat Profesi Keguruan
Menurut
National Education Asociation (1948)
dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:18) menyarankan kriteria berikut:
a.
Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
Menurut Stinnett dan Huggett
(1963) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:18) jelas sekali bahwa jabatan guru
memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya
sangat didominas kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi
persiapan dari semua kegiatan profesional lainnya. Oleh sebab itu, mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari
segala profesi
b.
Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang
khusus
Menurut Stinnett dan Huggett
(1963) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:19) Terdapat berbagai pendapat tentang
apakah mengajaran memenuhi syarat kedua ini. Mereka yang bergerak di bidang
pendidikan menyatakan bahwa memang telah berkembang secara jelas bidang khusus
yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang bewenang. Sebaliknya, ada
yang ada yang berpendapat belum memiliki batang tubuh ilmu khusus yang
dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa mengajar adalah suatu
sains (science), sementara kelompok
kedua mengatakan bahwa mengajar adalah suatu kiat (art).
c.
Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang
lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka)
Anggota kelompok guru dan yang
hemat di departemen pendidikan dan kebudayaan berpendapat bahwa persiapan
profesional yang cukup lama sangat perlu untuk mendidik guru yang berewewenang.
Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang
terdiri dari pendidikan umum, profesional , dan khusus, sekurang-kuranganya
empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK) atau pendidikan persiapan profesional
di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di
perguruan tinggi non-LPTK.
d.
Jabatan yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang
bersinambungan.
Jabatan guru cenderung
menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional, sebab hampir tiap
tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang
mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang
bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diiikuti guru-guru dalam
menyertakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan (ingat penyetaraan
D-II untuk guru-guru SD, dan penyetaraan D-III untuk guru-giru SLTP, baik
melalui tatap muka di LPTK tertentu maupun lewat pendidikan jarak jauh yang
dikoordinasikan Universitas Terbuka.). dilihat dari kacamata ini, jelas
kriteria keempat ini dapat dipenuhi bagi jabatan guru dinegara kita.
e.
Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan
keanggotaan yang permanen
Di luar negeri barangkali syarat
jabatan guru sebagai karier permanen adalah titik yang paling lemah dalam
menuntut bahwa mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru baru yang hanya
bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar, setelah itu
mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang
lebih tinggi. Untunglah di indonesia ini tidak begitu banyak guru yang pindah
ke bidang lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di indonesia
mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin karena lapangan kerja dan
system pindah jabatan yang agak sulit. Dengan demikian kriteria ini dapat
dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.
f.
Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri
Karena jabatan guru terkait hajat
orang banyak, maka standar untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh
anggota profesi sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih
sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan
tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta. Kelihatannya untuk masa
sekarang sesuai dengan kondisi yang ada di negara kita, kriteria ini tidak
belum secara keseluruhan dipenuhi oleh jabatan guru.
g.
Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas
keuntungan pribadi.
Jabatan mengajar adalah jabatan
yang memiliki nilai sosial yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang
baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari
warga negara masa depan. Jabatan guru yang sudah terkenal secara universal
sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu
orang lain, bukan oleh oleh ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih
jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan
kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun, ini tidak
berarti guru harus dibayar lebih rendah juga jangan mengharapkan akan cepat
kaya bila memilih jabatan guru. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi
bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.
h.
Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang
kuat dan terjalin erat.
Semua profesi yang dikenal memiliki organisasi
profesional yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi
anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi kriteria ini dan
dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia sudah ada Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari guru
taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan.
Di samping itu, juga telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada
tingkat daerah maupun nasional, namun belum terkait secara baik dengan PGRI.
Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar kelompok-kelompok guru mata
pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul ke dalam pangkuan
PGRI sehingga merupakan jalinan yang
amat rapi dari suatu profesi yang baik. Berdasarkan analisis ini tampakya
jabatan guru belum sepenuhnya dikategorikan sebagai satu profesi yang utuh, dan
bahkan banyak orang sependapat guru hanya jabatan semiprofesional atau profesi
yang baru muncul (emerging proffesion)
karena belum semua ciri-ciri di atas yang dapat dipenuhi.
Profesi
kependidikan khususnya profesi keguruan memiliki tugas utama melayani
masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan alasan tersebut, jelas
kiranya secara profesionalisasi dalam keguruan mengandung arti peningkatan
segala daya dan usaha secara langsung yang akan diberikan kepada masyarakat.
Menurut
Sanusi dkk. (1991) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:26-27) mengajukan enam
asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan (atau bukan
dilakukan secara acak saja) yakni sebagai berikut:
a.
Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki
pengetahuan, emosi, dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya;
sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai
martabat manusia.
b.
Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni
secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh
norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal,
yang merupakan referensi para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan
c.
Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotetis
dalam menjawab permasalahan pendidikan
d.
Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang
manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab
itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut
e.
Inti pendidikan dalam prosesnya, yakni situasi di
mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan
peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
f.
Sering terjadinya dilema antara tujuan utama
pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi
intrinsik) dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubahan
atau mencapai sesuatu
E. Perkembangan Profesi Keguruan
Kalau kita mengikuti perkembangan
profesi keguruan di indonesia, jelas pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat
dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru. Menurut Nasution (1987) dalam
Soetjipto dan Kosasi
(2007:27) secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di
indonesia terutama dalam zaman kolonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi
keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang yang tidak
dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-angsur dilengkapi dan
ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru (Kweekschool) yang
pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. Karena kebutuhan guru yang mendesak
maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru. yaitu:
a.
Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru
yang berwenang penuh,
b.
Guru yang lulus ujian yang diadakan untuk menjadi
guru,
c.
Guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu,
d.
Guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior,
yang merupakan calon guru, dan
e.
Guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak
yang berasal dari warga yang pernah mengecap pendidikan.
Walaupun sekolah guru telah dimulai dan
kemudian juga didirikan sekolah normal, namun pada mulanya bila dilihat dari
kurikulumnya dapat kita katakan hanya mementingkan pengetahuan yang akan
diajarkan saja. Ke dalamnya belum dimasukkan secara khusus kurikulum ilmu
mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yang lebih
tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands
Inlandse School (HIS), Meer
Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere
Burgeschool (HBS), dan Algemene
Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga
pendidikan guru atau kursus-kursus untuk mempersiapkan guru-gurunya, seperti Hogere Kweekschool (HKS) untuk guru HIS
dan kursus Hoofdacte (HA) untuk calon
kepala sekolah (Nasution, 1987).
Keadaan
yang demikian terus sampai zaman pendudukan Jepang dan awal perang kemerdekaan,
walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan dengan
keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah pendidikan guru meningkatkan
jenjang kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga
pendidikan guru yang tunggal, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Walaupun jabatan guru tidak harus
disebut sebagai jabatan profesional penuh, statusnya mulai membaik. Di
Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mewadahi
persatuan guru, dan juga memiliki perwakilan di DPR / MPR. Apakah para wakil
dan organisasi ini telah mewakili semua keinginan para guru, baik dari segi
profesional ataupun kesejahteraan?
Apakah guru betul-betul jabatan profesional, karena jabatan guru
terlindungi, mempunyai otoritas tinggi dalam bidangnya, dihargai dan mempunyai
status yang tinggi dalam masyarakat, semuanya akan tergantung kepada guru itu
sendiri dan unjuk kerjanya, serta masyarakat dan pemerintah yang memakai atau
mendapatkan layanan guru itu.
Dalam sejarah pendidikan guru di
Indonesia, guru pernah memiliki status yang sangat tinggi dalam masyarakat,
punya wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap sebagai orang yang serba tahu.
Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak di depan kelas, tetapi mendidik
masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk bertanya, baik untuk memecahkan
masalah pribadi ataupun masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai memudar
sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan kepedulian
guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa. Dalam era teknologi yang
maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya bagi masyarakat.
Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru
berkurang antara lain karena status guru yang kalah gengsi dari jabatan lainnya
yang mempunyai pendapatan yang lebih baik.
F. Kode Etik
Profesi Keguruan
a. Pengertian Kode Etik
Menurut Soetjipto
dan Kosasi (2007:30) Kode etik suatu profesi adalah norma - norma yang harus
diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk
bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanaka profesinya dan
larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh
diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas
profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada
umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat.
b. Tujuan Kode
Etik
Pada
dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk
kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Menurut
Hermawan (1979) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:31-32)
Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:
a)
Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
Dalam
hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau
masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap
profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan
melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat
mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik
juga disebut kode kehormatan.
b)
Untuk menjaga dan merawat kesejahteraan para
anggotanya.
Yang
dimaksud dengan kesehatan dan mental. Dalam hal kesejahteraan lahir para
anggota profesi kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan para anggotanya. Dalam hal
kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi
petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya. Kode
etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi
dalam berinteraksi dengan sesama rekan profesi
c)
Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan
lain kode etik dapat juga berhubungan dengan peningkatan kegiatan pengabdian
profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas
dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu
kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota
profesi dalam menjalankan tugasnya.
d)
Untuk meningkatkan mutu profesi
Untuk
meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar
para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para
anggotanya
e)
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi,
Untuk
meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota
untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan
kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
Dari uraian hal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk
menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara para anggota,
meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu
organisasi profesi.
c.
Penetapan Kode Etik
Menurut Soetjipto
dan Kosasi (2007:32-33) Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi
profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim
dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan
kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus
dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota
profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian, jelaslah orang-orang yang
bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan
yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu hanya akan mempunyai
pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika
semua orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam
organisasi profesi yang bersangkutan
Apabila
setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam
suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa
profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota
profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat
dikenakan sanksi.
d.
Sanksi Pelanggaran Kode Etik
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:33)
ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula
hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi
peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang
mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi
aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa
sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Contohnya dalam hal ini jika
seseorang anggota profesi bersaing tidak jujur atau curang dengan sesama
anggota profesinya, dan jika di kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka
pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan
pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran
kode etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat
celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah
sipelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Aadanya kode etik dalam suatu
organisasi profesi tertentu, menandakan organisasi itu telah mantap.
e.
Kode Etik Guru Indonesia
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:33-35)
Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan
norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu
sistem yang utuh dan bulat. Fungsi kode etik guru Indonesia adalah sebagai
landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan
tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah dan
dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian maka Kode Etik Guru
Indonesia merupakan alat yang sangat penting untuk membentuk sikap profesional
para anggota profesi keguruan. Kode Etika Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu
kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari
seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973,
dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta.
Adapun kode etik Guru Indonesia yang telah
|
disempurnakan
ini adalah sebagai berikut:
G. Organisasi Profesional Keguruan
a.
Fungsi Organisasi Profesional Keguruan
Menurut Hermawan
(1989) dalam Soetjipto
dan Kosasi (2007:35) jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan
gerak dan mengendalian keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi
guru-guru di negara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik
Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta
pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi guru Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa.
Menurut Basuni (1986) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:35) Salah
satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu dan kegiatan
profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Selanjutnya, Basuni
menguraikan empat misi utama PGRI, yakni:
a)
Misi politik / ideologi
b)
Misi persatuan organisatoris
c)
Misi profesi
d)
Misi kesejahteraan.
Kelihatannya,
dari praktek pelaksanaan keempat misi tersebut dua misi pertama - misi politis
/ ideologis, dan misi persatuan / organisasi - lebih menonjol realisasinya
dalam program-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah adanya
wakil-wakil PGRI dalam badan legislatif sepert DPR dan MPR. Peranan yang lebih
menonjol ini dapat kita pahami sesuai dengan tahap perkembangan dan pembangunan
bangsa dalan era orde baru ini.
Dalam
pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu ditingkatkan.
Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi profesi, belum tampak kiprah nyatanya
dan belum terlalu melembaga.
Dalam
kaitannya dengan pengembangan profesional guru PGRI sampai saat ini masih
mengandalkan pihak pemerintah misalnya dalam merencanakan dan melakukan
program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI
belum banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan
dengan perbaikan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru,
peningkatan kualifikasi guru atau melakukan penelitian ilmiah tentang
masalah-masalah profesional yang dihadapi oleh para guru dewasa ini.
Menurut Sanus
(1991) dalam
dalam Soetjipto dan
Kosasi (2007:36) Kebanyakan kegiatan yang berkaitan
dengan peningkatan mutu profesi biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan
peringatan ulang tahun atau kongres, baik di pusat maupun di daerah. Oleh sebab
itu, peran organisasi ini dalam peningkatan mutu profesional keguruan belum
begitu menonjol.
b.
Jenis-jenis organisasi Keguruan
Di samping PGRI sebagai
satu-satunya organisasi guru-guru sekolah yang diakui pemerintah sampai saat
ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikar dan
Kebudayaan. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan
profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya masing-masing kegiatan dalam
kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukup baik. Sayangnya, belum ada
keterkaitan dan hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan
PGRI.
Selain PGRI, ada lagi organisasi
profesional resmi di bidang pendidikan yang harus kita ketahui juga yakni
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah mempunyai
divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan
Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) Himpunan Sarjana Pendidikan
Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara
organisasi-organisasi ini dengan PGRI masih belum tampak secara nyata, sehingga
belum didapatkan kerja sama yang saling menunjang dan menguntungkan dalam
peningkatan mutu anggotanya. Sebagian anggota PGRI yang sarjana mungkin juga
menjadi anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi tidak banyak anggota ISPI
staf pengajar di LPTK yang juga menjadi anggota PGRI.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebuah
profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri
para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Etika
adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antarasesamanya
dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Profesi
yaitu suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh
pendidikan dan keahlian sehingga banyak orang yang bekerja sesuai bidang dan
keahliannya.
Syarat-syarat
profesi keguruan yaitu (a) Jabatan yang
melibatkan kegiatan intelektual (b) Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh
ilmu yang khusus (c) Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama
(bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka (d) Jabatan
yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang bersinambungan (e) Jabatan yang menjanjikan
karier hidup dan keanggotaan yang permanen (f) Jabatan yang menentukan baku
(standarnya) sendiri (g) Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas
keuntungan pribadi (h) Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat
dan terjalin erat.
Sejarah
pendidikan di indonesia terutama dalam zaman kolonial Belanda, termasuk juga
sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang
yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-angsur
dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru
(Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852.
Kode
etik suatu profesi adalah norma - norma yang harus diindahkan oleh setiap
anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di
masyarakat.
Jabatan
profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak dan mengendalian
keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita,
wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal
dengan singkatan PGRI.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tentang
pemotivasian pendidikan ini kita menjadi lebih tahu secara mendalam tentang pemotivasian
pendidikan dan tidak hanya sekedar tahu.
DAFTAR PUSTAKA
Saondi,
Ondi & Aris Suherman. 2012. Etika Profesi Keguruan. Bandung: PT
Refika Aditama
Soetjipto &
Raflis Kosasi. 2007. Profesi Keguruan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar