Minggu, 25 Februari 2018

KONSEP-KONSEP PENGELOLAAN PENDIDIKAN



 BAB 1 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Mengingat mutu pendidikan di Indonesia selama ini kurang memuaskan banyak pihak, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan pengeloan pendidikan.
Pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan konsep penegelolaan pendidikan?
2.      Apa itu fungsi dari pengelolaan pendidikan?
3.      Apa saja pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan pendidikan?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui apa itu konsep penegelolaan pendidikan.
2.      Untuk mengetahui apa itu fungsi dari pengelolaan pendidikan.
3.      Pendekatan pendekatan dalam pengelolaan pendidikan.


4.       

BAB 2 PEMBAHASAN


Konsep Dasar Pengelolaan Menurut Husain Usman kata pengelolaan merupakan hasil terjemahan dari bahasa inggris yaitu management, sedangkan dalam bahasa latin yaitu managere yaitu dari asal kata manus yang berarti menjadi tangan dan agere yang berarti melakukan. Kata itu digabung menjadi kata kerja managere yang artinya menangani. Pengelolaan pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut Oteng Sutisna Pengelolaan pendidikan berasal dari kata manajemen, sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi. Dapat diartikan pengelolaan pendidikan sebagai supaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan
Pengelolaan Pendidikan menurut Made Pidarta, (1988:4) diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Kata pengelolaan berasal dari kata manajemen. Sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi (Oteng Sutisna :1985). Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan. Moh. Rifai (1982:25) menjelaskan pengertian administrasi sebagai berikut: Administrasi ialah keseluruhan proses yang mempergunakan dan mengikutsertakan semua sumber potensi yang tersedia dan yang sesuai, baik personal maupun material, dalam usaha untuk mencapai bersama suatu tujuan secara efektif dan efisien. Pengertian administrasi mengandung makna adanya (1) tujuan yang mesti dapat direalisasikan guna kepentingan lembaga, individu ataupun kelompok, (2) keterlibatan personil, material dan juga finansial dalam posisinya yang saling mendukung dan satu sama lain saling memerlukan dan juga saling melengkapi, (3) proses yang terus menerus dan berkesinambungan yang dimulai dari hal yang kecil dan sederhana sampai kepada hal yang besar dan rumit, (4) pengawasan atau kontrol guna keteraturan, keseimbangan dan keselarasan, (5) tepat guna dan berhasil guna supaya tidak terjadi penghambur-hamburan waktu, tenaga, biaya dan juga fasilitas agar dapat mencapai keberhasilan dan produktivitas yang cukup memadai, (6) hubungan manusiawi yang menempatkan manusia sebagai unsur utama dan terhormat serta memilik kepentingan di dalamnya.

B.     Fungsi Pengelolaan Pendidikan

1.      Perencanaan
Satu-satunya hal yang pasti di masa depan dari organisasi apapun termasuk lembaga pendidikan adalah perubahan, dan perencanaan penting untuk menjembatani masa kini dan masa depan yang meningkatkan kemungkinan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Mondy dan Premeaux (1995) menjelaskan bahwa perencanaan merupakan proses menentukan apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Perencanaan amat penting untuk implementasi strategi dan evaluasi strategi yang berhasil, terutama karena aktivitas pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan staff, dan pengendalian tergantung pada perencanaan yang baik (Fred R. David, 2004).
Dalam dinamika masyarakat, organisasi beradaptasi kepada tuntunan perubahan melalui perencanaan. Menurut Johnson (1973) bahwa: “The planning process can be considered as the vehicle for accomplishment of system change”.Tanpa perencanaan sistem tersebut tak dapat berubah dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan lingkungan yang berbeda. Dalam sistem terbuka, perubahan dalam sistem terjadi apabila kekuatan lingkungan menghendaki atau menuntut bahwa suatu keseimbangan baru perlu diciptakan dalam organisasi tergantung pada rasionalitas pembuat keputusan. Bagi sistem sosial, satu-satunya wahana untuk perubahan inovasi dan kesanggupan menyesuaikan diri ialah pengambilan keputusan manusia dan proses perencanaan. Dalam konteks lembaga pendidikan, untuk menyusun kegiatan lembaga pendidikan, diperlukan data yang banyak dan valid, pertimbangan dan pemikiran oleh sejumlah orang yang berkaitan dengan hal yang direncanakan. Oleh karena itu kegiatan perencanaan sebaiknya melibatkan setiap unsur lembaga pendidikan tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Menurut Rusyan (1992) ada beberapa hal yang penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen pendidikan sebagai implementasi perencanaan, diantaranya:
·         Merinci tujuan dan menerangkan kepada setiap pegawai/personil lembaga pendidikan.
·          Menerangkan atau menjelaskan mengapa unit organisasi diadakan.
·         Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
·         Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, prosedur dan petunjuk pelaksanaan lainnya.
·         Mempersiapkan uraian jabatan dan merumuskan rencana/sekala pengkajian.
·         Memilih para staf (pelaksana), administrator dan melakukan pengawasan.
·         Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan hasil kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan. Menentukan keperluan tenaga kerja, biaya (uang) material dan tempat.
·         Menyiapkan anggaran dan mengamankan dana.
·         Menghemat ruangan dan alat-alat perlengkapan.
2.      Pengorganisasian
Tujuan pengorganisasian adalah mencapai usaha terkoordinasi dengan menerapkan tugas dan hubungan wewenang. Malayu S.P. Hasbuan (1995) mendifinisikan pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relative didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Pengorganisasian fungsi manajemen dapat dilihat terdiri dari tiga aktivitas berurutan: membagi-bagi tugas menjadi pekerjaan yang lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan pekerjaan untuk membentuk departemen (departementalisasi), dan mendelegasikan wewenang (Fred R. David, 2004).
Dalam konteks pendidikan, pengorganisasian merupakan salah satu aktivitas manajerial yang juga menentukan berlangsungnya kegiatan kependidikan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi memiliki berbagai unsur yang terpadu dalam suatu sistem yang harus terorganisir secara rapih dan tepat, baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, siswa/member, kurikulum, uang, metode, fasilitas, dan faktor luar seperti masyarakat dan lingkungan sosial budaya.
Sutisna (1985) mengemukakan bahwa organisasi yang baik senantiasa mempunyai dan menggunakan tujuan, kewenangan, dan pengetahuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam organisasi yang baik semua bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan menjadi sebagian dari keseluruhan yang tak terpisahkan. Semua itu baru dapat dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun struktur kelembagaan, 2) Mengembangkan prosedur yang berlaku, 3) Menentukan persyaratan bagi instruktur dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya instruktur dan karyawan yang ada dalam pekerjaan.
3.      Pengarahan
Pengarahan adalah fungsi pengelolaan yang berhubungan dengan usaha memberi bimbingan, saran, perintah-perintah atau intruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan semula.
4.      Pengawasan
Sebagaimana yang dikutip Muhammad Ismail Yusanto (2003), Mockler (1994) mendifinisikan pengawasan sebagai suatu upaya sistematis untuk menetapkan standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain sistem umpan balik informasi; untuk membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan itu; menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut; dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumberdaya perusahaan telah digunakan dengan cara yang paling efekif dan efisien guna tercapainya tujuan perusahaan.
5.      Pengembangan
Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar, atau lebih baik, memajukan sesuatu dari yang lebih awal kepada yang lebih akhir atau dari yang sederhana kepada tahapan yang lebih kompleks. Berdasarkan pengertian tersebut maka, pengembangan dalam pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai upaya memajukan program pendidikan ini ketingkat program yang lebih sempurna, lebih luas, dan lebih kompleks.

C.    Pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan Pendidikan

1.      Pendekatan Organisasi Klasik
Pendekatan organisasi klasik ini sering disebut juga dengan gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori oleh Frederick Taylor seorang yang memiliki latar belakang dan pengalaman sebagai buruh, juru ketik, mekanik, dan akhirnya berpengalaman sebagai kepala teknik yang hidup antara tahun 1856 sampai dengan tahun 1915. Gerakan ini mencari upaya untuk dapat menggunakan orang secara efektif dalam organisasi industri. Konsep dari gerakan ini adalah orang dapat juga bekerja layaknya sebagai mesin.

2.      Pendekatan Hubungan Manusia
Pendekatan hubungan manusia adalah gerakan yang lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap pendekatan organisasi klasik. Pendekatan hubungan manusia ini dipelopori oleh Mary Parker Follett (1868-1933) orang yang pertama kali mengenal pentingnya faktor-faktor manusia dalam administrasi. Mary Follet juga banyak menulis yang berkenaan dengan sisi manusia dalam administrasi. Mary Follet percaya bahwa masalah yang mendasar dalam semua organisasi adalah mengembangkan dan mempertahankan hubungan dinamis dan harmonis. Walaupun terjadi konflik, menurut pemikiran Mary Follet, konflik tersebut merupakan suatu proses yang normal bagi pengembangan hal yang mengakibatkan terjadinya konflik itu.
3.      Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku dalam administrasi adalah menggabungkan antara hubungan sosial dengan struktur formal dan menambahkannya dengan proposisi yang diambil dari psikologi, sosiologi, ilmu politik dan ekonomi. Pendekatan ini dipelopori oleh Chester I. Barnard yang hidup antara tahun 1886 sampai dengan tahun 1961. Bukunya "Functions of the Executive" (1938). Dalam buku ini Barnard mengulas secara lengkap teori perilaku yang kooperatif dalam organisasi formal. Barnard menyimpulkan bahwa kontribusi kerjanya berkenaan dengan konsep struktur dan dinamis. Konsep-konsep struktur yang dianggap penting adalah individu, sistem kerja sama, organisasi formal, organisasi formal yang komplek, dan juga organisasi informal. Konsep-konsep dinamis yang penting, menurut Barnard, adalah kerelaan, kerjasama, komunikasi, otoritas, proses keputusan, dan keseimbangan dinamik.
Permasalahan dan Pengembangan Pengelolaan Pendidikan “Masalah Kontemporer Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional” dapat diikhtisarkan bahwa permasalahan dan pengembangan pengelolaan pendidikan menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a.       Sistem Desentralisasi dalam Pengelolaan Pendidikan
Bagaimanakah kita dapat mengoperasikan sistem desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan nasional yang efektif dan efisien bagi semua daerah? Sebab daerah-daerah tidak semuanya siap untuk dapat menerapkan sistem desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan kita ini. Apakah dengan menerapkan sistem desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan dapat merusak tatanan kesatuan dan persatuan yang telah terjalin selama ini antar berbagai daerah di negara kita? Akan tetapi penerapan sistem desentralisasi dalam pengelolalaan pendidikan adalah salah satu upaya untuk memberikan kepercayaan kepada daerah dalam mengelola sistem pendidikan yang berada di daerah tersebut dalam rangka untuk pengembangan sumber daya manusia yang bervariasi untuk kepentingan pembangunan pendidikan dan juga pembangunan nasional secara menyeluruh.
b.      Penerapan Otonomi dalam Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Dalam pengelolaan pendidikan tinggi yang mempercayakan sepenuhnya kepada perguruan tinggi untuk dapat mengelola dan mengembangkannya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan potensi perguruan tinggi tersebut dan daerah masing-masing di mana perguruan tinggi itu berada. Setiap perguruan tinggi akan diberikan kepercayaan dan kewenangan yang luas untuk dapat mengelola proses pendidikan dengan segala aspek yang ada di dalamnya.
c.       Profesionalisasi Jabatan Tenaga Kependidikan
Supaya tingkat efektivitas dan efisiensi hasil pendidikan nasional dapat dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan bangsa dalam mengejar berbagai ketinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa lain sehingga pada akhirnya bangsa Indonesia dapat bersaing secara sehat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
d.      Kendali Mutu Pendidikan Nasional
Mutu proses pengajaran sangat dipengaruhi oleh perilaku guru dalam hal (1) menyusun desain instruksional, (2) menguasai berbagai macam metode mengajar dan mampu menerapkan metode tersebut dengan kegiatan siswa di dalam kelas, (3) berinteraksi dengan siswa untuk menumbuhkan dan membangkitkan motivasi belajar yang menyenangkan, (4) menguasai bahan dan menggunakan berbagai macam sumber belajar untuk membangkitkan kegiatan belajar aktif, (5) mengenal perbedaan individual setiap siswa, dan (6) memilih proses dan hasil belajar, memberikan umpan balik, dan juga mampu dalam merancang program belajar remedial (Djam‟an Satori dan Udin S. Saud 1994).






















BAB 3 PENUTUP

A.    Kesimpulan

     Pengelolaan Pendidikan adalah aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya.
Fungsi pengelolaan pendidikan:
1.     Perencanaan
2.     Pengorganisasian
3.     Pengarahan
4.     Pengawasan
5.     Pengembangan
Pendekatan-pendekatan pengelolaan pendidikan:
1.     Pendekatan organisasi klasik
2.     Pendekatan hubungan manusia
3.     Pendekatan perilaku

B.     Saran

Sebaiknya pendidikan dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan.







DAFTAR PUSTAKA


Kadarman, A.M. et.al. 1996. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta, Gramedia.
Kasan, Tolib. 2004. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta, Studia press.
Rusyan, A. Tabrani. 1992. Manajemen Kependidikan. Bandung: Media Pustaka.
Sutisna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa 
Sudjana D. 2004, Manajemen Program Pendidikan. Bandung, falah production.

Minggu, 18 Februari 2018

SEJARAH ETIKA PROFESI DAN KONSEP PROPESI KEGURUAN




BAB 2
PEMBAHASAN
A.     Pentingnya Etika Profesi
Menurut Saondi dan Suherman (2012:89) Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Menurut Wignjosoebroto dalam Saondi dan Suherman (2012:90) Dengan demikian, etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat built-in mechanism berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian.
Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung ujungnya akan berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

B.          Pengertian Etika
Menurut Saondi dan Suherman (2012:90-91) Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antarasesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal bahasa dari kata Yunani ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
Etika dalam perkembangannya sangat memengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita. Dengan demikian, etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia:
a.       Etika deskriftif
Etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil
b.      Etika normatif
Etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.



Secara umum, etika dapat dibagi menjadi:
a.       Etika Umum
Mencakup kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia  mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika Umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai pengertian Umum dan teori-teori.
b.      Etika Khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud: Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud: Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis: cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Etika ini dibagi lagi menjadi dua bagian:
a)      Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri
b)      Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

Dengan demikian, ruang lingkup dari etika sosial sangat luas sehingga terbagi atau terpecah menjadi beberapa bagian atau bidang. Pembahasan bidang yang paling aktual adalah sebagai berikut:
a.       Sikap terhadap sesama 
b.      Etika keluarga
c.       Etika profesi 
d.      Etika politik
e.       Etika lingkungan
f.       Etika ideologi.
Sistem penilaian Etika yaitu:
·         Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila
·         Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu Budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa etika profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut Karsa atau kehendak kemauan. Isi bahasa dari Karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbualan dalam hal merealisasikan ini ada 4 (empat) variabel yang lerjadi
a.       tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik
b.      tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya; kelihatannya baik
c.       tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik
d.      tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.



C.     Pengertian Profesi
Menurut Saondi dan Suherman (2012:93) Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang, yaitu suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian sehingga banyak orang yang bekerja sesuai bidang dan keahliannya. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidika kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktik pelaksanaan dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktik.
Menurut Saondi dan Suherman (2012:94) Profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktikkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekadar hobi, untuk senang-senang, atau mengisi waktu luang. Yang harus kita ingat dan pahami betul bahwa “pekerjaaan/profesi" dan "professional” terdapat beberapa perbedaan:
Profesi
Profesional
Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus
Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya
Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu)
Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya
Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup
Hidup dari situ
Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam
Bangga akan pekerjaannya

a.       Ciri-ciri profesi
a)      Adanya pengetahuan khusus, biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman bertahun-tahun
b)      Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi
c)      Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap  pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
d)      Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, dan kelangsungan hidup maka untuk menjalankan suatu profesi terlebih dahulu harus ada izin khusus.
e)      Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di satu pihak, ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.
b.      Prinsip-prinsip etika profesi
a)      Tanggung jawab
Terdapat dua tanggung jawab yang diemban yakni: terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut dan terhadap hasilnya terhadap dampak dari profesi tersebut untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
b)      Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya.
c)      Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya.

c.       Peranan etika dalam profesi
a)      Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil, yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
b)      Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan, baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
c)      Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi) sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik Super spesialis di daerah mewah sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.

D.     Syarat-syarat Profesi Keguruan
Menurut National Education Asociation (1948) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:18) menyarankan kriteria berikut:
a.       Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
Menurut Stinnett dan Huggett (1963) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:18) jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominas kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari semua kegiatan profesional lainnya. Oleh sebab itu,  mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari segala profesi
b.      Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus
Menurut Stinnett dan Huggett (1963) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:19) Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajaran memenuhi syarat kedua ini. Mereka yang bergerak di bidang pendidikan menyatakan bahwa memang telah berkembang secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang bewenang. Sebaliknya, ada yang ada yang berpendapat belum memiliki batang tubuh ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan bahwa mengajar adalah suatu kiat (art).
c.       Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka)
Anggota kelompok guru dan yang hemat di departemen pendidikan dan kebudayaan berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama sangat perlu untuk mendidik guru yang berewewenang. Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, profesional , dan khusus, sekurang-kuranganya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK) atau pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan tinggi non-LPTK.
d.      Jabatan yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang bersinambungan.
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diiikuti guru-guru dalam menyertakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan (ingat penyetaraan D-II untuk guru-guru SD, dan penyetaraan D-III untuk guru-giru SLTP, baik melalui tatap muka di LPTK tertentu maupun lewat pendidikan jarak jauh yang dikoordinasikan Universitas Terbuka.). dilihat dari kacamata ini, jelas kriteria keempat ini dapat dipenuhi bagi jabatan guru dinegara kita.
e.       Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen
Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier permanen adalah titik yang paling lemah dalam menuntut bahwa mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru baru yang hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar, setelah itu mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang lebih tinggi. Untunglah di indonesia ini tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di indonesia mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin karena lapangan kerja dan system pindah jabatan yang agak sulit. Dengan demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.
f.       Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri
Karena jabatan guru terkait hajat orang banyak, maka standar untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta. Kelihatannya untuk masa sekarang sesuai dengan kondisi yang ada di negara kita, kriteria ini tidak belum secara keseluruhan dipenuhi oleh jabatan guru.
g.       Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
Jabatan mengajar adalah jabatan yang memiliki nilai sosial yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari warga negara masa depan. Jabatan guru yang sudah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan oleh oleh ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun, ini tidak berarti guru harus dibayar lebih rendah juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.
h.      Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Semua profesi yang dikenal memiliki organisasi profesional yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi kriteria ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia sudah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping itu, juga telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada tingkat daerah maupun nasional, namun belum terkait secara baik dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul ke dalam pangkuan PGRI sehingga merupakan  jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang baik. Berdasarkan analisis ini tampakya jabatan guru belum sepenuhnya dikategorikan sebagai satu profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang sependapat guru hanya jabatan semiprofesional atau profesi yang baru muncul (emerging proffesion) karena belum semua ciri-ciri di atas yang dapat dipenuhi.
Profesi kependidikan khususnya profesi keguruan memiliki tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan alasan tersebut, jelas kiranya secara profesionalisasi dalam keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha secara langsung yang akan diberikan kepada masyarakat.
Menurut Sanusi dkk. (1991) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:26-27) mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan (atau bukan dilakukan secara acak saja) yakni sebagai berikut:
a.       Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki pengetahuan, emosi, dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
b.      Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan referensi para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan
c.       Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotetis dalam menjawab permasalahan pendidikan
d.      Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut
e.       Inti pendidikan dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
f.       Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsik) dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu

E.     Perkembangan Profesi Keguruan
Kalau kita mengikuti perkembangan profesi keguruan di indonesia, jelas pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru. Menurut Nasution (1987) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:27)  secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di indonesia terutama dalam zaman kolonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru (Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. Karena kebutuhan guru yang mendesak maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru. yaitu:
a.       Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh, 
b.      Guru yang lulus ujian yang diadakan untuk menjadi guru,
c.       Guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu,
d.      Guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan calon guru, dan
e.       Guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak yang berasal dari warga yang pernah mengecap pendidikan.
Walaupun sekolah guru telah dimulai dan kemudian juga didirikan sekolah normal, namun pada mulanya bila dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakan hanya mementingkan pengetahuan yang akan diajarkan saja. Ke dalamnya belum dimasukkan secara khusus kurikulum ilmu mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yang lebih tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga pendidikan guru atau kursus-kursus untuk mempersiapkan guru-gurunya, seperti Hogere Kweekschool (HKS) untuk guru HIS dan kursus Hoofdacte (HA) untuk calon kepala sekolah (Nasution, 1987).
Keadaan yang demikian terus sampai zaman pendudukan Jepang dan awal perang kemerdekaan, walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan dengan keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah pendidikan guru meningkatkan jenjang kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru yang tunggal, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Walaupun jabatan guru tidak harus disebut sebagai jabatan profesional penuh, statusnya mulai membaik. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mewadahi persatuan guru, dan juga memiliki perwakilan di DPR / MPR. Apakah para wakil dan organisasi ini telah mewakili semua keinginan para guru, baik dari segi profesional ataupun kesejahteraan?  Apakah guru betul-betul jabatan profesional, karena jabatan guru terlindungi, mempunyai otoritas tinggi dalam bidangnya, dihargai dan mempunyai status yang tinggi dalam masyarakat, semuanya akan tergantung kepada guru itu sendiri dan unjuk kerjanya, serta masyarakat dan pemerintah yang memakai atau mendapatkan layanan guru itu.
Dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, guru pernah memiliki status yang sangat tinggi dalam masyarakat, punya wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak di depan kelas, tetapi mendidik masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk bertanya, baik untuk memecahkan masalah pribadi ataupun masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan kepedulian guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa. Dalam era teknologi yang maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya bagi masyarakat. Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru berkurang antara lain karena status guru yang kalah gengsi dari jabatan lainnya yang mempunyai pendapatan yang lebih baik.


F.      Kode Etik Profesi Keguruan
a.       Pengertian Kode Etik
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:30) Kode etik suatu profesi adalah norma - norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanaka profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat.
b.      Tujuan Kode Etik
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Menurut Hermawan (1979) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:31-32) Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:
a)      Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga disebut kode kehormatan.
b)      Untuk menjaga dan merawat kesejahteraan para anggotanya.
Yang dimaksud dengan kesehatan dan mental. Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan para anggotanya. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya. Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur ​​bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesama rekan profesi
c)      Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan lain kode etik dapat juga berhubungan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d)      Untuk meningkatkan mutu profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya
e)      Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi,
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
 Dari uraian hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.
c.       Penetapan Kode Etik
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:32-33) Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian, jelaslah orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan
Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.
d.      Sanksi Pelanggaran Kode Etik
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:33) ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Contohnya dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing tidak jujur ​​atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika di kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah sipelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Aadanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan organisasi itu telah mantap.
e.       Kode Etik Guru Indonesia
Menurut Soetjipto dan Kosasi (2007:33-35) Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi kode etik guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang sangat penting untuk membentuk sikap profesional para anggota profesi keguruan. Kode Etika Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun kode etik Guru Indonesia yang telah

KODE ETIK GURU INDONESIA
Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa, dan negara, dan kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setiap pada Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1)      Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila
2)      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)      Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4)      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5)      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
6)      Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7)      Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8)      Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9)      Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

 
disempurnakan ini adalah sebagai berikut:


























G.    Organisasi Profesional Keguruan
a.       Fungsi Organisasi Profesional Keguruan
Menurut Hermawan (1989) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:35) jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak dan mengendalian keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa.
Menurut Basuni (1986) dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:35) Salah satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Selanjutnya, Basuni menguraikan empat misi utama PGRI, yakni:
a)      Misi politik / ideologi
b)      Misi persatuan organisatoris
c)      Misi profesi
d)      Misi kesejahteraan.
Kelihatannya, dari praktek pelaksanaan keempat misi tersebut dua misi pertama - misi politis / ideologis, dan misi persatuan / organisasi - lebih menonjol realisasinya dalam program-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah adanya wakil-wakil PGRI dalam badan legislatif sepert DPR dan MPR. Peranan yang lebih menonjol ini dapat kita pahami sesuai dengan tahap perkembangan dan pembangunan bangsa dalan era orde baru ini.
Dalam pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu ditingkatkan. Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi profesi, belum tampak kiprah nyatanya dan belum terlalu melembaga.
Dalam kaitannya dengan pengembangan profesional guru PGRI sampai saat ini masih mengandalkan pihak pemerintah misalnya dalam merencanakan dan melakukan program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan kualifikasi guru atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang dihadapi oleh para guru dewasa ini.
Menurut Sanus  (1991) dalam dalam Soetjipto dan Kosasi (2007:36)  Kebanyakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan peringatan ulang tahun atau kongres, baik di pusat maupun di daerah. Oleh sebab itu, peran organisasi ini dalam peningkatan mutu profesional keguruan belum begitu menonjol.
b.      Jenis-jenis organisasi Keguruan
Di samping PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru-guru sekolah yang diakui pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikar dan Kebudayaan. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya masing-masing kegiatan dalam kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukup baik. Sayangnya, belum ada keterkaitan dan hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI.
Selain PGRI, ada lagi organisasi profesional resmi di bidang pendidikan yang harus kita ketahui juga yakni Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah mempunyai divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) Himpunan Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini dengan PGRI masih belum tampak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian anggota PGRI yang sarjana mungkin juga menjadi anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi tidak banyak anggota ISPI staf pengajar di LPTK yang juga menjadi anggota PGRI.




BAB 3
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antarasesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Profesi yaitu suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian sehingga banyak orang yang bekerja sesuai bidang dan keahliannya.
Syarat-syarat profesi keguruan yaitu  (a) Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual (b) Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus (c) Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka (d) Jabatan yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang bersinambungan (e) Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen (f) Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri (g) Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi (h) Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Sejarah pendidikan di indonesia terutama dalam zaman kolonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru (Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852.
Kode etik suatu profesi adalah norma - norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat.
Jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak dan mengendalian keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI.
B.     Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tentang pemotivasian pendidikan ini kita menjadi lebih tahu secara mendalam tentang pemotivasian pendidikan dan tidak hanya sekedar tahu.

















DAFTAR PUSTAKA
Saondi, Ondi & Aris Suherman.  2012. Etika Profesi Keguruan. Bandung: PT Refika Aditama
Soetjipto & Raflis Kosasi. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.